Sebuah permasalahan yang pernah diperdebatkan sehubungan dengan
proses tasyri’ di masa Rasulullah adalah mengenai ijtihad. Hal ini penting
untuk dikaji untuk memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya posisi
seorang Rasul dalam menghadapi realitas sosial yang sedang dihadapi.
Pertanyaan yang dikemukakan adalah, apakah Rasulullah saw boleh
berijtihad atau tidak? dalam hal ini ada dua pendapat yang didukung oleh
dalilnya masing-masing.
Pendapat pertama mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh
melakukan ijtihad, beliau hanya menunggu dan menjalankan perintah dari
Allah. Hal ini didukung dengan pemahaman umum dari Ayat al-Qur`an yang
menyatakan bahwa Rasulullah tidak berkata kecuali dengan wahyu, yang
terdapat dalam surat an-Najm: 3-4. Dalam ilmu kalam, pendapat ini dianut
oleh aliran As’ariyah dan sebagian besar kaum Mu’tazilah (Khalil, tt: 28).
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa Rasulullah saw
melakukan ijtihad, bahkan beliau pernah salah dalam ijtihadnya. Pendapat
ini didukung oleh dalil-dalil sebagai berikut:
a. Rasulullah pernah melakukan Qiyâs. Hal ini termuat dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Pada suatu hari, seorang perempuan
Khasy’amiyyah datang kepada beliau menanyakan persoalan ayahnya
yang meninggal dunia dalam keadaan belum menunaikan ibadah haji
karena sakit. Perempuan itu bertanya: “apakah aku bisa
menghajikannya, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab: “bagaimana
menurutmu, jika ayahmu punya hutang, apakah kamu wajib
melunasinya?”. Ketika perempuan tersebut menjawab bahwa hal itu
harus dibayar, maka nabi mengatakan: “hutang kepada Allah lebih
utama untuk ditunaikan” (al-Maraghi, 2001: 9).
No comments:
Post a Comment